Kesan
pertama yang terlihat, orang ini tidak terlihat dapat bertindak kasar. Aku mengerti
orang-orang segan untuk berbicara dengannya
dan menganggap orang ini tidak mengerti apa yang akan mereka bicarakan. Tapi
jauh di dalam dirinya, anak ini normal.
“Hello,”
Aku menutup pintu ruang kontrol . “Namaku Frank.”
Aku menatapnya membungkuk sebentar dan duduk, “Kau mau segelas kopi?”
Tak ada respon yang diberikannya pada tawaranku, dia tidak terlihat tertarik dengan pertanyaan yang ada.
Aku menatapnya membungkuk sebentar dan duduk, “Kau mau segelas kopi?”
Tak ada respon yang diberikannya pada tawaranku, dia tidak terlihat tertarik dengan pertanyaan yang ada.
“Sebenarnya
diriku sendiri tidak menyukai Kopi di Bureau ini, rasanya kurang enak, jadi aku
membawakanmu teh...” kataku, “Ini kopi dari kebun yang baik, kau mau
mencobanya?”
Saat aku berbicara, saat itu juga aku memberi aba-aba agar Mike membawakan teh masuk ke dalam ruangan.
Saat aku berbicara, saat itu juga aku memberi aba-aba agar Mike membawakan teh masuk ke dalam ruangan.
“Aku dengar
kau sudah lama tidak minum, kau bisa dehidrasi.” Aku menatapnya, “ Yah
terkecuali kau mau meninggalkan dunia ini.” Dia mulai terlihat bergerak dan
terdapat gerak gerik dari matanya. “Aku bukan polisi, bukan juga temanmu yang
mengajakmu mengobrol dan juga bukan seorang nanny yang akan menyemangatimu.” kataku
tersenyum. “Aku dokter, orang yang sangat kamu butuhkan untuk saat ini.”
Dia tak
menjawab.
“Karena kau
tidak gila, mentalmu stabil dan kau tidak mengalami amnesia apapun. Kelakuanmu dan emosimu saat ini sama seperti
orang luar sana, kehidupanmu juga sama seperti mereka. Kamu tidak perlu
menanggapi pendapat ini tapi daya tahan tubuhmu lebih baik dari orang yang
biasanya seumurmu. Meskipun kau telah melakukan percobaan bunuh diri,
kau masih tetap hidup sampai sekarang.”
Kris
merendahkan kepalanya dan menjatuhkan tatapannya ke lantai.
“Kau
setidaknya punya waktu 5 jam untuk menelan penicillin tapi kau tidak
menelannya.” Aku menatapnya, “Kamu mungkin seharusnya mencoba, terjun untuk
mati, atau merobek nadimu dengan pecahan kaca, tapi kau memilih untuk meminum
pil racun dan duduk di bathub, tapi kau tidak mati.”
Tangannya
yang telihat lemas mulai bergerak.
“Keinginanmu
untuk bertahan hidup, lebih besar dari siapa pun bahkan dari temanmu yang sudah
mati. Itu adalah alasan kenapa kau msih hidup.” Aku mendekat ke
wajahnya, ”Dan Tuhan mengijinkanmu, mungkin bukan anugrah
tapi mungkin untuk penderitaan yang akan didapatkan, hukuman.”
Matanya
mulai menyala, pupil matanya yang coklat mulai terlihat.. bergerak. tapi
aku masih belum bisa mengartikan arti tatapan matanya itu dengan baik.
“Kamu bisa tetap diam seperti ini untuk sisa hidupmu, menjalani kegiatan evaluasi
psikologimu, lalu mecari pengacara yang dapat membelamu. Kau
akan dapat hidup dengan damai, hidup sebagai seorang pengcut, tapi itu bukan dirimu.” kataku, "Kalau kau berpikir seperti yang aku katakan, kau akan mengakhiri hidupmu disana, di bangunan itu."
Setelah
beberapa detik aku tetap mempertahankan tatapanku padanya.
Suara parau
menghiasi kata-kata pertamanya “Kau terlalu melebih-lebihkan tentang diriku.”
Aku dapat merasakan keributan di luar sana atas reaksi anak ini, orang-orang penasaran akan hal ini. Aku dapat melihat belasan pasang mata memperhatikan kami dari kaca yang terpasang di dinding di ruangan ini. Aku tersenyum,” Kenapa bisa kau berkata seperti itu?”tanyaku.
Aku dapat merasakan keributan di luar sana atas reaksi anak ini, orang-orang penasaran akan hal ini. Aku dapat melihat belasan pasang mata memperhatikan kami dari kaca yang terpasang di dinding di ruangan ini. Aku tersenyum,” Kenapa bisa kau berkata seperti itu?”tanyaku.
“Kau pikir
kau pintar?” dia tersenyum sinis dan menatapku.
“Tentu saja
tidak.” jawabku.
“Tidak.”
Dia tersenyum dan menggelengkan kepala, “Kau pasti berpikir bahwa kaulah yang
tau semuanya. Berpikir semuanya dapat dikontrol olehmu.”
Aku terdiam
dan menatapnya.
“Jika kau
tahu bahwa polisi yang mengundangmu ke sini bukan karena untukku. Aku hanya
sbuah umpan, kepalsuan, hanya sebuah tindakan.” Kris menatapku dari sudut
matanya. “Tujuan utamanya hanyalah untuk membodohimu. Kau pikir aku diam karena
aku sakit. Tapi sebenarnya ini hanyalah sebuah tindakan, acting.”
Aku melihat
Kris di hadapanku dan bertanya-tanya apakah evaluasi psikologi tidak penting.
“Bagaimana
perasaanmu?” katanya.
Aku terdiam sejenak dan menjawabnya ,”Aku tidak akan mempercayaimu.”
Aku terdiam sejenak dan menjawabnya ,”Aku tidak akan mempercayaimu.”
“Bagaimana
jika saat kau masuk dan kau tak melihat seorangpun?” tanyanya. Aku berpikir sebentar,
“Aku akan menganggap bahwa ada hal yang darurat sehingga orang-orang itu pergi tanpa memberitahu
kita.”
“Bagaimana
jika kau tidak bisa menghubungi siapa pun dan menyadari bahwa pintu sudah
terkunci dari luar?” Dia menatapku.
Aku pun
menatapnya, sudah merasakan suasana yang tidak nyaman saat menatapnya, Aku
mencoba untuk menyingkirkannya dan berusaha untuk tetap tenang.
“Aku
akan..... melindungi diriku dan akan waspada terhadapmu.”
Seketika matanya menyipit ,” Kau salah.”
Seketika matanya menyipit ,” Kau salah.”
“Tapi aku
tidak akan menyerangmu sebelum aku melihatnya dengan jelas.” jelasku , “tapi
bukan berarti aku mempercayaimu juga.”
Dia
membungkukkan kepalanya, “Kau salah.......aku salah......Kita semua di sini
salah....”
Aku
menangkap ekspresi wajahnya dan bertanya “Apakah yang kau maksud teman dalam
grupmu?” Dia tersenyum pasrah dan merendahkan kepalanya , “Aroma tehmu cukup
baik.” Aku melihatnya yang mengalihkan topik pembicaraan, “Oh kau pernah
mencoba ini Kris?”
“Bi Luo
Chun, teman lamaku. Aku tau rasanya dan kami sering meminumnya. “Selama dia
berbicara aku merasa seperti teman lamanya. “Teman Chinamu yang tinggal di
korea?”
“Betul.”
Dia menjawab, “Kami tak bebas untuk meminum ini, hanya selama musim semi, teh
ini menjadi seperti pengganti minuman anggur.” Tatapannya yang terlihat
mengenang akan sesuatu.
“Teman
lamamu itu apakah dia masih tinggal di korea?”tanyaku. Dia terdiam sebentar dan
menggelengkan kepalanya. “Aku tak tahu,
tapi biar ku tebak dia tidak ingin kembali ke Korea. Dia ingin pulang ke rumahya,
hehe.”
Aku
menatapnya.
“Sejujurnya,
aku tidak punya banyak teman. Aku iri padanya. Dia selalu mengatakan untuk
selalu ingin pulang ke rumahnya. Karena untukku, aku sendri tak tahu di mana
rumahku berada.” “Aku pikir perkataanmu benar. Aku hidup bukan karena
mendapatkan anugrah, melainkan sebagai sebuah hukuman.”
Original fanfiction written by 辛辛息息
English translation by heecups, flyingbacons and wasabilxx on twitter
Indonesian translation by DEERTORIA with citrahf and seoulofheart
Edited by septiandara21
Do not reupload, do not repost, respect copyrights, and use proper credits if linking this post.
omg nice :)
BalasHapusMakasih banyak!! :D
BalasHapusmakin makin penasaran, itu kris kenapa ya?
BalasHapusDuh, Kris agak terganggu mentalnya kali ya, kesepian gimana gitu.
BalasHapustambah penasaran jadinya :D
BalasHapusBaru pertama kali baca nie...
BalasHapuswoah~ ff keren nih~
BalasHapusmakasih author yg udah nge translate *bow*
BalasHapuspenasaran sama ff ini, dari dulu pngen baca tp selalu gak sempet..
BalasHapusmakasi admin translateannya ^^
Daebak! Kris so cool~
BalasHapuskasihan kris penasarannn
BalasHapusKeren^^b
BalasHapusWuuaahh!! :D
BalasHapusPenasaran penasaran Penasaran :3
BalasHapusketiga kalinya ulang baca ini, terimkasih banyak untuk yang sudah men-translate cerita ini :))
BalasHapusboleh minta ijin buat share di blog aku? aku pasti bakalan nulis sumbernya kok;)
BalasHapus