Rabu, 14 November 2012

48 HOURS - CHAPTER 13



Keluar dari ruang kontrol, aku merasa perlu untuk menghirup udara segar. Remaja emosional ini telah membalikkan badannya memunggungi kami, kepalanya menghadap dinding, memungkinkan dirinya sendiri sebuah tempat yang meyakinkan dan aman untuk menitikkan air mata.

Jika seseorang sedih, air mata harus dibiarkan mengalir. Ini, mungkin sesuatu yang tidak diajarkan padanya dalam perusahaan Korea tersebut.

Dia memperlakukanku seperti seorang pendeta, menceritakan rahasia dan mengharapkan aku untuk menebus jiwanya. Aku tidak bisa, pada kenyataannya, aku akan menjual jiwanya. Satu-satunya orang di dunia ini yang bisa mengkhianatinya, pada akhirnya adalah dirinya sendiri.

Malam itu, dia yang pasti kelelahan, tidak memiliki apapun untuk dikatakan. Aku berjalan sendiri ke teras untuk menghela nafas  dan ketika aku kembali, seluruh kantor polisi telah meledak menjadi sebuah kekacauan, seorang wanita Korea mengenakan pakaian kantor dengan ekspresi bingung sedang berbicara dengan David, melambaikan ponsel di tangannya. David memberi isyarat padanya untuk menenangkan diri berulang kali, menginstruksikan Mike untuk menemukan penerjemah pada satu sisi sementara di sisi lain ia mencari sebuah pena dan kertas dalam persiapan untuk melakukan beberapa rekaman pernyataan.

Ini jelas bukan urusanku, Kris di kejauhan masih tergeletak di ruang monitoring, tidak dapat menyaksikan kepanikan yang terjadi di luar. Baginya, cerita telah berakhir dari hari sebelumnya, tidak mengetahui penyebab dan hasil, hanya mengalami proses, mungkin bagiannya tak lagi penting. Manusia tidak memakai polariisator ketika mengamati sudutnya, rasa sakit, kebahagiaan, sukacita dan depresi semua hanya muncul sebagai debu di mata Tuhan.

Malam itu aku mengantarnya di tengah hembusan angin, itu adalah jalan yang akrab bagiku, tapi aku tidak sengaja kehilangan arah. Mungkin semua orang sudah pernah berkelana di rute ketersesatan mereka, khususnya ketika koordinat dalam kehidupan telah hilang . Dari perspektif hubungan sosial, aku hanya seorang psikolog yang disewa oleh polisi, bagaimanapun ia tetap sebagai orang yang bisa jadi sungguh-sungguh kriminal. Kami duduk berhadapan,  bila aku berbalik aku akan menghirup udara kebebasan, tapi dia, dia akan menghadapi penjara yang pasti akan menghalangi dia dari masa mudanya. Sebagai sebuah kesetaraan, dalam beberapa hal, dia adalah guruku.

Dari kemarin sampai hari ini, dirinya dan teman-temannya yang sudah meninggal telah menyadarkanku  padaku tentang martabat sebuah perjuangan hidup. Setiap orang yang terlibat dalam trade off* pada akhirnya memilih untuk bertarung, membuatku menjadi iri sebagai orang tua, betapa patut dihormatinya sekelompok anak muda ini.
.
Mereka telah menjalani hidup mereka dengan lebih serius, tidak sepertiku, yang lebih banyak hidup seperti orang mati. Bangun, aku akan berpikir aku telah hidup tanpa kompensasi apapun, aku merasakan sinar matahari yang lembut ini bukan untuk layak mendapatkan hadiah, aku tak pernah sekalipun mengubah keinginan sederhana ini untuk merendahkan martabatku karena selama ini aku merasa telah hidup dngan penuh martabat.

Mungkin aku salah, mungkin kelompok anak-anak muda ini telah lama membutuhkan pengalaman dalam mengorbankan sesuatu untuk meraih mimpi kecil mereka, mimpi-mimpi yang sepele hingga ke batas dimana seseorang yang sukses sepertiku melihat hal itu konyol hanya dengan sekali lihat, yang bagaimanapun menyulut jalannya menuju darah dan raga dari manusia-manusia yang paling muda dan menawan.
Tak hanya di rumah itu.

Mungkin aku tidak akan pernah mengajukan perizinan masuk, bila tidak ada perbedaan dalam pembedaan sejak dulu eksis di mata Tuhan, sekumpulan bocah-bocah ini yang pada mulanya kuanggap terlalu cantik dan feminin, nyatanya telah melalui berbagai hal yang jauh lebih berani daripada aku.

Dengan cerita yang sudah setengah jalan, aku tidak pernah tahu sebelumnya, bahwa kemarin malam akan jadi kali terakhir Kris menceritakan masalah ini sebelum ke persidangan.

Keesokan paginya, Mike menyapaku sementara Kris tampak sangat tenang, sebagian rambutnya diikat di belakang dengan bantuan sederhana Mike , dia benar-benar mengucapkan terima kasih. Meskipun pergerakannya tidak bebas, ia masih memiliki kebiasaan membungkuk dan berterima kasih, sementara dibandingkan dengan wajah serius dan identitasnya sebagai tersangka saat itu, itu sangat konyol.

Aku pikir, mungkin jika ada beberapa orang lain membungkuk bersamanya, itu akan terlihat tidak terlalu menonjol.

Hari itu, aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang bertabiat baik, ibu dari Kris. Di sampingnya berdiri ayah tiri Kris dan teman lamaku Konrad Steinweg, pengacara bergengsi dan mahal di LA, yang berspesialisasi membantu pembebasan tersangka utama.

"Sudah lama sejak aku melihatmu, kau masih seperti biasa di sini." Konrad mengulurkan tangannya, pria keturunan Jerman yang dibesarkan di Amerika ini benar-benar muncul lebih gagah daripada pria Jerman lainnya.
"Sama, aku tahu bahwa setiap kali kau muncul aku tidak akan dapat melanjutkan pekerjaanku," sembari menjabat tangannya dengan ogah-ogahan.
"Tolong serahkan saja semuanya padaku nanti," kata Dia, "Aku mengerti bahwa berbicara terlalu banyak tidak akan membawa manfaat untuknya." Konda bersandar ke arahku saat aku mengekspresikan pemahamanku.
"Namun tentang hal-hal yang terjadi selanjutnya, aku masih penasaran." Kataku.
"Kau pasti akan dimasukkan dalam daftar peserta selama persidangan." Katanya mengeluarkan tawa.
Aku mengerutkan kening, "secepat inikah?" Merasa seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres.
"Kau harus bertanya pada  geng itu, bagaimanapun," Konrad menurunkan matanya, "dilihat dari pemahamanku tentang situasi ini, ia memang dalam masalah besar." Kelihatannya persetujuan rahasia itu telah mengecualikanku dari sekian banyak informasi.

Aku berjalan ke arah  Mike dan melihat Kris meninggalkan ruang kontrol, mungkin untuk bertemu dengan orang tuanya dan pengacara untuk berdiskusi. Aku mengangkat kepalaku  dan berbicara kepada Mike: "Kau selalu menendang orang-orang yang baik."

"Ayolah Frank," pinta Mike, "orang yang mengunci mulut anak singa itu tentulah bukan kita ataupun pengacaranya, tentulah kami semua mengharapkan dia dapat berbicara lebih banyak."
"Proses pengadilan telah menyita waktu yang sangat singkat, tuduhan apa saja yang kau punya untuk melawan dia nanti." Kataku.

Mike melirik padaku penuh arti, "apa yang dia katakan mungkin tidak  selalu benar dan apa yang kau telah dengar mungkin tidak secara pasti menjadi fakta."
"Apa maksudnya?" aku  sama sekali tidak skeptis terhadap kejujuran dan kredibilitas pasien itu.
"Yah ~ ~ " Mike menatapku, "Di pihak mana kau sebenarnya? Sepertinya ada di pihak Mr. Survivor itu.”

"Yah, aku akan hadir di persidangan.” kataku tak berdaya, "Kau harus mampu menjelaskan tentang tuduhan-tuduhannya sekarang."

Setelah sejenak terdiam, Mike menurunkan kepalanya, "ada tiga tuduhan pembunuhan."
Aku membeku, "siapa?"

"Pria Korea bernama Kim Jongin, Park Chanyeol, dan pria China Zhang  Yixing."  Mike membanting dokumen yang ada di tangannya, mengangkat kepalanya dan menyelesaikan kalimatnya, meninggalkan aku dan hanya bisa melihat punggungnya.

T/N:
* = trade off adalah kondisi dimana seseorang dihadapkan pada dua pilihan atau lebih, dimana mereka harus mengorbankan yg lainnya untuk mendapatkan sesuatu.

Original Fanfiction  written by 辛辛息息
Indonesian Translation by DEETORIA with citrahf and seoulofheart 
This chapter was edited and finished by  citrahf


Do not reupload, do not repost, respect copyrights, and use proper credits if linking this post
Don't forget to leave some comments ^^

6 komentar: