Kamis, 29 November 2012

48 HOURS - CHAPTER 20

Ketika Yixing terbangun, jam telah menunjukkan pukul 7 malam.

Ia mengucek matanya sebelum menatap papan hitung mundur di tembok menunjukkan sisa waktu 3 jam dan dengan lesu berkata, “Sudah selarut ini.”

Berbaring membungkuk miring di sofa, Aku menatap matanya.

“Dimana yang lainnya?” Ia berkata.
“Mereka semua mati.” Ucapku.
Ia berkedip dan menengadah, menatap tanpa pikiran.

Ia tidak menanyakanku tentang bagaimana Luhan mati, mungkin tidak perlu juga mengetahui jawabannya.
Berdiri, ia pelan-pelan menaiki tangga. Ia membuka pintu menuju kamar tidur kedua di lantai dua, dan melihat keadaan yang kacau balau itu.

Ia tersenyum diam dan menatap keluar jendela.

Hujan turun diluar jendela, suara air hujan terus terdengar seiring menetesnya ia ke dedaunan dan  bagian bawah jendela. Aku tak dapat memastikan apa yang ada di atmosfer pada malam itu yang menggantikan kata-kata kami.

Hal-hal yang tak pernah kuberi tahu, bahasa-bahasa yang ku tak yakini.

“Halo, namaku Zhang Yixing.” Ia tersenyum malu sambil menggaruk kupingnya, “Kau adalah orang Cina pertama yang kukenal.”
“Wu Yi Fan.” Aku mengulurkan tanganku, memberinya sebuah tos.


Larut malam pada suatu malam di bulan Februari 2012, aku duduk di asrama, menatap ke seikat kunci dalam harapan yang hilang dan keputus asaan. Ia menundukkan kepalanya dan menyiratkan senyuman sebelum menempatkan lengannya di bahuku, “Itu bukan apa-apa, mungkin nanti kalau aku jadi gigolo, aku bahkan akan menghasilkan jauh lebih banyak daripada artis sepertimu.”

Pada malam yang hujan di musim dingin 2012, ia menghisap rokok pertama dalam hidupnya, memilih untuk menghadiahi dirinya sendiri, ia berjalan menuju sebuah jam bergaya hitam putih. Melihat harganya yang mahal, ia mengeluarkan seluruh kartu kredit dan uangnya, menatap penjaga tokonya dengan malu, “Aku tidak membawa cukup uang, akankah kau menyimpankannya untukku?”

Malam kemarin, sebuah bintang jatuh melintas di langit. Ia duduk di samping jendela dengan mulutnya yang agak dimanyunkan, “Bila aku ditakdirkan untuk bangun besok, aku tidak ingin hidup sendirian.” Ia menatapku dengan sebuah senyum.

Beberapa hal lebih baik dibiarkan tak diucapkan.

Kami berdiri berjejer di kamar tidur. Aku melangkah maju dan memeluknya perlahan dari belakang.
Ia tidak menoleh, dan juga tidak menggumam sepatah kata pun.

“Kapan kau akan membunuhku.”  Ia bertanya tak acuh, matanya masih tertuju pada luar jendela.
Aku memejamkan mataku, dan membenamkan kepalaku di bahunya.

Aku culas dan bermuka dua. Aku memang begitu sepanjang hidupku, namun hanya pada saat aku benar-benar harus bermuka dua, entah bagaimana aku kehilangan kekuatan untuk menggunakan keahlianku tersebut.

“Sekarang,” bisikku, suaraku bergetar, berat dan dalam, seiring dengan lembut kubawa bibirku ke salah satu sisi wajahnya. Kubalikkan badannya dengan gemetaran, kudaratkan ciuman di bibirnya.

Ia membuka matanya, seperti yang kuduga, dan menatapku dengan ekspresi itu. Itu adalah ekspresi yang sangat jauh tak dapat dideskripsikan dengan bahasa.

“Aku memaafkanmu,” mata-mata itu tampak berbicara.

Hujan yang turun diluar nampaknya telah menyimbahiku dari ujung rambut hingga ujung kaki, dari lenganku hingga kakiku, membasahkuyupiku dengan kelembaban, seluruhnya, seutuhnya. Ia memandangku, seperti pohon diluar yang sangat dibasahi air; matanya nampak berkata, jangan marah, ini bukan kesalahanmu.

Air mataku mulai mengalir tak terkontrol; aku perlahan mencium alisnya, hidungnya, bibirnya, membiarkan air liur mengalir melalui tepi lidah kami… ia bersandar, merespon ciumanku dengan lembut, dengan seluruh kelembutan yang ia bisa. Aku tak dapat melihat wajahnya, begitu pula dengan wajahku sendiri; ini adalah titik buta dalam memoriku – menjadi tak mampu untuk menemukan bentuk pembenaran dalam bahasa apapun, otakku terbakar menjadi abu, debunya terbang. Sesuatu nampaknya telah jatuh dari ujung hatiku.

Kami tersandung di jalan saat kami mencengkam menuju kamar mandi. Memegangnya membelakangi tembok, aku membelai dan menyisir rambutnya dengan lembut. Kami diam; hanya nafas kami yang terdengar. Ia menutup matanya dan menyentuhkan dahinya ke dahiku.

Memukul cermin di dekat wastafel dengan sekuat tenaga, aku mengambil salah satu serpihannya. Kukunci tangannya di belakang punggungnya, kepalanya dimiringkan ke samping. Kami bernafas dengan berat di telinga masing-masing, aku menundukkan kepalaku dan memulai menciumnya begitu penuh gairah, ia memejamkan matanya dan meresponku dengan seluruh usahanya, tepat pada saat dimana aku menyayat pergelangan tangannya.

Semuanya didahului dengan keheningan. Ia mengangkat tangan kirinya untuk mengusap air mataku, dan jatuh ke lantai dengan lemah, darah hangatnya mengalir ke seluruh lantai. Dengan sadar, aku ingin untuk menghentikan luka dari pendarahannya dengan beberapa pakaian, tapi aku telah lupa, sayatan itu disayat olehku.

Seiring menitiknya setetes air mata, ia berkata, “Aku ingin pulang.”

Aku mengangkatnya dan membawanya ke kamar tidur, disana, secercah cahaya menembus jendela, secara tidak sengaja menghadap ke timur. Aku mengambil sebuah bangku dan mendudukkannya disitu, membetulkan rambutnya dan bajunya, ia menunjukkan sebuah senyuman, dan dengan sekian keletihan yang tak dapat dikalahkan, ia berkata, “Aku akan tidur sejenak.”

Kemudian, ia menutup matanya.
Aku terus menatap sepasang mata itu, tapi mereka tidak pernah terbuka lagi.

Duduk di depan jendela, aku membeku untuk waktu yang lama, tidak mengetahui bahwa menit-menit atau jam-jam telah berlalu.

Di Timur jauh sana, tidak ada tempat yang dapat kusebut rumah, tapi bila ia bisa kesana di masa yang akan datang, aku akan ingin, dan itu bila aku bisa.

Original Fanfiction  written by 辛辛息息
Indonesian Translation of this chapter by  citrahf

Do not reupload, do not repost, respect copyrights, and use proper credits if linking this post
Don't forget to leave some comments ^^

11 komentar:

  1. Skit dn sdih bgt bca.a pe nangis gni w... Kris.. Ah.. Lu bkin w skit.. #edisilebay
    Tggl sdkit lg abez..
    Dhisme wati

    BalasHapus
  2. chapter ini bener2 bkin speechless, mau nangis rasanya, aaah krislay :( .. bener2 makasi banyak buat admin yang udah translate ini ke bahasa indonesia ..

    BalasHapus
  3. sedih.. Tpi kok ini ada ciuman antara Kris dan Lay ToT adegan Yaoi dong '-'a

    BalasHapus
  4. Kris,,,cara kau membunuh Yi Xing so sweet yah...#plaak
    sedih banget,,

    BalasHapus
  5. yaampun menyentuh bgt. Kris nyium lay, karena permintaan lay sebelum mati kan ya? Lay bener2 orang yg baik.
    Jadi secara ga langsung, si kris udh diberi kepercayaan sama luhan dan lay ya. Sedih bgt sih.

    BalasHapus
  6. awal baca aku pikir cerita yaoi genre thriler, tapi setelah lanjut, bukan ini full thriler. ehh baca chap ini, oke yaoi. hahaaa

    BalasHapus
  7. aah.. lembut banget Kris nyiumnya... haha ber-yaoi sejenak sebelum meninggal...

    BalasHapus
  8. Aaaaa sedihh ;-;; tapi sweet pas bagian krislay kissing btw, aku kray shipper soalnya /rlab/

    BalasHapus
  9. Kmprt . Sdihcbgt baca ygini . Air mata brcucuran kmana2 jujur min gua bkan type org ygska baca ff yaoi . Tp pas baca ini kyanya it untk melambangkn bntuk prsahabatn mreka untkyg trakhir kalinya . gilaa T.T

    BalasHapus